Wednesday, September 11, 2013

Belajar presentasi dari standup comedy

Tidak semua orang bisa lucu seperti seorang standup comedian, maka kita tidak akan belajar menjadi lucu tetapi belajar presentasi. Satu ilmu standup comedy yang bisa diterapkan oleh seorang presenter adalah kerseriusan dalam menghafalkan materi. Anda pernah melihat standup comedian tampil begitu lucu dan terkesan alami penuh improvisasi? Jangan “tertipu”, 90% dari standup comedy adalah hasil skenario dan hanya 10 persen hasil improvisasi. Hal ini ditegaskan comic Indonesia seperti Ernest Prakasa dan Pandji Pragiwaksono, dua comic favorit saya. Jika Anda melihat penampilan seorang comic sekali saja, mungkin sulit untuk melihat bahwa leluconnya adalah hasil menghafalkan naskah karena nampak begitu alami. Namun jika Anda melihat lebih dari satu video mereka, Anda akan setuju dengan saya bahwa standup comedy adalah hasil belajar keras, hasil menghafalkan sebuah naskah seperti naskah film yang lengkap dengan titik, koma, intonasi, dan gerak tubuh.

Standup comedian dunia seperti Chris Rock atau Russell Peters dengan jelas memperlihatkan hal ini dari berbagai aksi panggung yang berbeda. Chris Rock bahkan bisa menyampaikan bahan lelucon dengan kata-kata dan intonasi yang persis sama di satu panggung dan panggung lainnya. Coba lihat sebuah video berikut yang merupakan gabungan dari pecahan video aksinya yang tampil di panggung berbeda dengan materi yang sama. Video yang sesungguhnya merupakan hasil penyuntingan ini nampak seperti satu video utuh karena Chris Rock bisa tampil persis sama di satu panggung dan panggung lainnya. Ini adalah bukti bahwa standup comedy adalah hasil menghafalkan skenario.

Ini bisa ditiru untuk presentasi. Saya sering melakukan ini. Untuk presentasi dengan Bahasa Inggris saya biasanya membuat naskah skenario lengkap dengan intermezzo, intonasi dan titik koma. Saya tahu, ada orang yang memang tidak perlu melakukan ini karena bakat presentasinya begitu alami. Saya tidak termasuk salah satunya. Saya harus membuat naskah lengkap. Tugas selanjutnya adalah menghafalkan dan menampilkannya dengan gaya alami. Seorang presenter yang baik, seperti juga standup comedian, adalah seorang aktor peran yang baik. Mereka mampu menghafalkan skenario dengan tepat dan membawakannya dengan akting yang alami. Bagaimana caranya? Berlatih! Jika saya tidak bisa melakukan ini setelah 100 kali latihan, saya akan berlatih 300 kali!

Dikutip dari : http://madeandi.com/2013/09/11/belajar-presentasi-dari-standup-comedy/

Thursday, September 05, 2013

Sepuluh hal yang ‘merusak’ presentasi ...

  1. Ngobrol dengan layar. Banyak presenter yang terjebak lebih sering melihat layar daripada hadirin. Di Berlin, tata panggung memaksa presenter untuk melihat ke layar lebih sering karena memang tidak ada komputer di depan presenter yang bisa dijadikan media monitor. Saya sebenarnya berharap presenter menghadapi laptopnya sendiri di depannya sehingga tidak perlu sering melihat ke belakang dan ngobrol bersama layar besar dan ‘melupakan’ hadirin. Setelah mengamati video saya, ternyata saya juga cukup sering melakukan ini. Ini harus dikoreksi.
  2. Menyalin isi paper ke tayangan presentasi. Karena berbagai alasan, seringkali presenter menyalin isi papernya apa adanya dan menampilkannya di tayangan presentasi. Anda pasti sering melihat hal ini terjadi. Mereka yang terpaku pada isi paper memang cenderung presentasi sesuai urutan dan isi paper sehingga melakukan copas. Hal ini sebaiknya tidak dilakukan. Ada dua alasan: pertama, presenter jadi cenderung membaca saat presentasi sehingga terjebak ‘ngobrol’ dengan layar. Kedua, hadirin dipaksa untuk membaca, tidak menikmati gagasan presenter yang disampaikan secara verbal. Perhatian hadirin yg kecepatan membacanya berbeda akan berbeda dan terpecah-pecah.
  3. Huruf saja, miskin gambar. Teman-teman dari disiplin ilmu sosial sering terjebak menggunakan tulisan saja tanpa gambar, apalagi animasi, dalam presentasinya. Presentasi seperti ini bisa membosankan, terutama jika tidak dibawakan dengan cara yang atraktif. Kita mungkin perlu ingat lagi bahwa satu gambar bernilai seribu kata.
  4. Lupa waktu. Banyak pembicara yang baik dan berpengetahuan luas serta dalam yang mengalami ini. Saking banyaknya yang ada di kepalanya, mereka menggunakan waktu lebih dari yang diperbolehkan. Hal semacam ini bisa membuat tidak nyaman hadirin, terutama panitia yang harus berpacu dengan waktu. Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan ini, saya biasanya berlatih presentasi. Meskipun sudah presentasi di berbagai tempat saya tidak pernah tidak berlatih sebelum presentasi. Salah satu tujuannya adalah mengetahui dan menjamin waktu yang saya habiskan tidak lebih dari yang disediakan.
  5. Lupa berinteraksi. Banyak presenter yang karena sudah memiliki agenda tertentu, lupa berinteraksi dengan hadirin. Mereka bahkan seperti tidak menganggap hadirin sedang mendengarkan mereka. Interaksi ini tentu tidak selalu berupa pertanyaan, bisa juga sekedar senyum atau menyebut nama seorang atau dua orang yang dikenal. Hal ini akan membuat hadirin merasa diajak dalam proses transfer ilmu/informasi tersebut.
  6. Lupa bersiap-siap. Cukup mudah dilihat perbedaan antara mereka yang bersiap-siap atau belajar sebelum presentasi dengan mereka yang tidak siap sama sekali. Kesiapan tentu saja tidak selalu ditandai dengan penampilan yang memukau. Kesiapan bisa dilihat juga dari alur presentasi yang runut meskipun bahasanya terbata-bata. Presenter yang siap akan tahu persis urutan lembar tayangnya sehingga bisa bercerita dengan lancar dalam perpindahan lembar tayang. Seorang presenter sesungguhnya penjaja cerita yang runut, lengkap dan mengalir utuh, dibantu oleh lembar tayang yang sesuai. Presenter yang tidak siap biasanya akan terpaku pada lembar tayang dan baru berpikir apa yang akan diceritakan saat presentasi ketika menghadapi lembar tayang tertentu. Akibatnya, ketika terjadi transisi lembar tayang, dia seperti kaget atau tidak siap dan menghabiskan banyak waktu untuk diam berpikir merencanakan ucapan di lembar tayang baru itu. Kuncinya adalah berlatih.
  7. Berbicara terlalu cepat. Saya sering mengalami hal ini karena selalu berusaha tepat waktu dan menyampaikan sebanyak mungkin hal. Kita kadang lupa bahwa pemahaman kita sebagai presenter itu bisa sangat berbeda dengan pemahaman hadirin yang mungkin awam di bidang yang kita presentasikan. Kita merasa omongan kita tidak tidak terlalu cepat dan mudah dipahami karena kita mungkin sudah menekuni bidang itu bertahun-tahun. Sebaliknya, hadirin bisa jadi sangat awam dan memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahami apa yang kita katakan. Kecepatan yang meningkat ini umumnya terjadi di penggal terakhir. Hal ini, lagi-lagi, bisa diatasi dengan berlatih dan melakukan simulasi sebelum presentasi sesungguhnya.
  8. Menjadikan perangkat lunak presentasi (misalnya Power Point) sebagai pengganti plastik transparan OHP. Mereka yang sekolah di tahun 1990an awal akan tahu bahwa dulu perkuliahan menggunakan overhead projector (OHP). Lembar tayangnya berupa plastik tranparan yang ditulisi. Selanjutnya lembar itu berfungsi sebagai film yang ditayangkan di layar besar dengan OHP. Tulisan dan gambar tentu saja statis/diam. Banyak yang melakukan ini di power point: sekedar menulis huruf, angka atau membuat gambar yang kemudian ditayangkan. Semestinya, bisa menggunakan animasi atau setidaknya urutan tampilnya obyek bisa dibuat dinamis untuk membantu penjelasan. Ingat, power point bukanlah plastik transparan.
  9. Pelafalan kata Indonesia seperti aksen/logat asing. Memag tidak dipungkiri, untuk bisa berbahasa asing dengan baik, terutama agar aksennya baik, harus ada naluri nggaya atau bergaya. Naluri ini yang akan membuat kita berani melafalkan suatu kata bahasa asing (misalnya Inggris) sesuai dengan pelafalan penutur asli. Cilakanya, kebiasaan ini juga mempengaruhi cara kita melafalkan kata Bahasa Indonesia dengan cara yang nggaya. Cara bicara Cinta Laura dengan tepat menjadi contoh untuk situasi ini. Ada bahkan presenter yang mengenalkan namanya sendiri yang jelas-jelas Jawa asli dengan logat dan pelafalan British. Konon, yang terbaik adalah melafalkan kata Bahasa Indonesia dengan logat Indonesia meskipun ketika presentasi dengan Bahasa Inggris. Memang agak lucu kalau ada yang mengatakan “The study was conducted in Salachiga” padahal Salatiga :)
  10. Menggebu-gebu untuk sesuatu yang tidak perlu dan volume suara yang konstan keras. Ada yang presentasi ilmiah dengan gaya motivator atau juru kampanye. Bahkan ketika berbicara indikator ekonomi saja terdengar seperti sedang memberi semangat pada prajurit yang akan tampil ke medan perang. Ada juga yang dari awal sampai akhir berbicara dengan volume suara keras yang konsatan sehingga membuat pendengar tersiksa. Konon presentasi yang baik memang harus clear and loud tetapi tidak selalu keras setiap waktu. Ini juga persoalan warna suara. Memang ada orang yang suaranya memekakkan telinga. Jika orang seperti ini berbicara bersemangat maka pendengarlah yang menjadi korban. Bagaimana mengatasi ini? Cobalah rekam presentasi kita lalu tonton beberapa hari kemudian, bandingkan dengan pembicara lain yang kita sukai. Jika sudah ketemu kesalahannya, hanya ada satu cara: berlatih keras. Jika 120 kali belum ada kemajuan, lakukan 240 kali latihan. Itu saja.
         Sepulah hal yang ‘merusak’ di atas sebagian saya temukan pada presentasi saya sendiri saat menonton videonya. Maka catatan ini adalah upaya mengingatkan diri sendiri selain berbagi dengan orang lain.

Dikutip dari : http://madeandi.com/2013/03/21/berlin-2013-sepuluh-hal-yang-merusak-presentasi/