Tuesday, March 19, 2013

Manajemen Kerugian...

Penerimaan nasib akan membuat hati menjadi lebih tentram, termasuk penerimaan kesalahan, dan penerimaan salah. Masih dalam mempelajari petikan hikmah dari kegagalan mengelola nikmat hidup, atau petikan hikmah dari pengalaman mengalami kesulitan hidup — apapun kejadiannya; ujiankah atau azab –, hendaknya kita benar-benar bisa membangun kepasrahan, keikhlasan dan kesabaran. Bila kesulitan kita sebab ujian, ya kita terima dengan ikhlas, dan kita pasrahkan kepada Allah yang pasti sudah mengatur yang terbaik. Dan bila kesulitan kita sebab azab, maka kita ikhlaskan juga untuk menerima apapun resiko hukumannya, dan kita pasrahkan pula masa depan kejadian kepada Allah.

Toh kita tahu bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Sayang. Masa iya Dia lama-lama menenggelamkan kita di lautan kesulitan, di lautan kesedihan dan penderitaan? Kecuali kita memang senang ditenggelamkan! Berbicara mengenai kepasrahan, maka hal ini adalah jauh lebih baik daripada mengeluh. kepasrahan akan mententramkan hati, apalagi bila menghadapi permasalahan yang tidak terpecahkan atau belum terselesaikan. Kepasrahan terbaik adalah kepasrahan dengan menyandarkan segenap permasalahan kepada Sang Pencipta, dengan berdo’a, shalat, sabar atau dengan jalan apa saja yang bisa ‘mencuri’ perhatian-Nya. “Jika Allah berkehendak menolong kamu, maka tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan kamu, sebaliknya, jika Allah membiarkan, maka siapakah yang dapat menolongmu selain Allah tentunya. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin berserah diri.” (Âli ‘Imrân: 160). “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan melalui kesabaran dan shalat…” (al-Baqarah: 45). Di antara makna sabar adalah menerima apapun kejadian dengan hati lapang, hati ikhlas dan percaya bahwa Allah ada di balik semua hal. Kelapangan dan keikhlasan dalam menyikapi problematika kehidupan akan membuat hati menjadi rileks dan pikiran menjadi jernih. Sedangkan shalat dalam makna seluas-luasnya adalah menundukkan hati, pikiran dan jiwa raga kepada Allah, Tuhan Penguasa Alam. Siapa saja yang mengharapkan pertolongan Allah, sebisa mungkin menjaga agar hal-hal negatif tidak terulang lagi dan kemudian berbuat sebanyak mungkin amal kebajikan. Inilah juga sebagian dari materi manajemen kerugian, manajemen kekecewaan, yang sebagian besarnya banyak dikupas nanti pada judul “Cahaya Seribu Lilin”. Seseorang yang sedang mengalami keterpurukan dan ketersudutan, tetapi ia bisa menerimanya dengan tingkat keikhlasan yang tinggi, apalagi dibarengi dengan kesadaran bahwa apapun yang terjadi adalah kebaikan baginya, dan penerimaan resiko; maka keterpurukan dan ketersudutannya itu bukanlah kerugian adanya. Apalagi bila kemudian dalam masa tersebut, ia mau memperbaiki dirinya dengan memantapkan niat mengayuh kehidupan baru, dengan semangat baru, dan dengan motivasi baru, yang ia sandarkan pada kebaikan hubungan baik dengan Allah dan sesamanya. Bisa dipastikan, kebaikan demi kebaikan berupa perubahan suasana kehidupan akan segera menghampiri. Sebaliknya, siapa saja yang tidak bisa mengelola sebuah musibah, tidak bisa mengelola sebuah kejatuhan dan kepahitan, maka akan berlipat-lipat kerugian yang dialaminya.

Contoh sederhana misalnya, seseorang bangkrut, lalu ia tidak bisa menerima kebangkrutannya secara sewajarnya, dalam artian putus asa, biasanya ia akan lama sekali terkungkung dalam kebangkrutannya, apalagi bila ia alihkan kekecewaannya ke hal-hal negatif. Kerugian yang ia alami minimal dua kali. Pertama, rugi karena kebangkrutannya. Kedua, rugi karena kehilangan motivasi dan harapan. Awali dulu dengan penerimaan nasib. Ya, penerimaan nasib atau penerimaan keadaan adalah awal yang baik untuk mengelola sebuah keterpurukan, ketersudutan, kejatuhan, kepahitan, musibah, atau apapun namanya yang berupa kesusahan. Selanjutnya adalah membangun motivasi kembali dan mengumpulkan secercah demi cercah harapan-harapan baru; lewat kekuatan muhasabah, inabah dan amal saleh. Saya sebut sekali lagi statement berikut ini; bahwa hal-hal yang positif, akan menjadi kekuatan positif tersendiri dari dalam jiwa. Dan biasanya, akan muncul energi-energi positif yang akan membawa kita menemukan sisi-sisi positif yang sempat ‘tercuri’ akibat gelapnya mata, gelapnya hati. Minimal hati bisa lapang dan ceria dalam kesempitan dan kedukaan. Minimal juga ketenangan bisa menghias kehidupan saat permasalahan memang sedang dicarikan jalan keluar. Maka jangan aneh, bila kemudian kita dengar, kita lihat, atau kita baca, kisah seorang manusia yang bangkit dengan amat sangat luar biasa, setelah keterpurukan yang menurut ukuran manusia ia tidak bisa bangun lagi. Mereka inilah orang-orang yang menemukan kembali kesejatian dirinya, Jangan kaget pula bila kita mendengar kisah heroik yang mengharu biru, lahir dari kisah perjalanan seorang manusia yang pernah terlempar dari kehidupan normal. sebagai manusia yang dianugerahi Allah pengontrolan penuh kedua — setelah Allah — terhadap nasib dan kehidupannya sendiri. Ya, ada banyak cerita sukses, cerita jaya, terbangun setelah kegagalan yang datang bertubi-tubi tanpa kompromi, terbangun setelah kejatuhan yang mungkin bisa menghempaskan seekor burung dari langit. Inilah mungkin sebagian maksud Allah ketika Dia meminta kita semua untuk tidak pernah putus asa dari rahmat-Nya, apapun kejadiannya, dan mengingat bahwa ada Dia di balik semua hal yang Dia permaklumatkan di sini sebagai Tuhan Yang Maha Menutup segala lembaran kelam dan Maha Penyayang. “Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan menutup semua kesalahan-kesalahan. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az Zumar: 53). Dikutip dari website yusufmansur.com