Dalam kesempatan yang baik ini saya ingin berbagi pengalaman pribadi selama berjuang dan menjadi pemburu beasiswa sampai akhirnya saat ini bisa kuliah di Curtin University, Perth, Western Australia tahun 2017. Sebelumnya sempat menjadi pertanyaan di benak kenapa harus kuliah ke luar negeri dan setelah berbincang dengan salah satu rekan senior di kantor yang pernah kuliah di Jepang, beliau berpendapat bahwa kuliah di luar negeri akan menambah pengalaman kita dan merubah cara pandang kita karena akan bergaul dengan teman – teman dari berbagai negara yang berbeda.
Semua berawal di bulan November 2013 saat saya terpilih mewakili institusi tempat saya bekerja, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai salah satu young scientist untuk mengikuti capacity building program tentang Earth and Ocean Observation di Jepang selama hampir sebulan. Program ini diselenggarakan oleh Kementrian Riset dan Teknologi dengan pembiayaan dari hibah Bank Dunia (World Bank). BPPT mengirim 20 (dua puluh) orang peneliti dan perekayasa muda ke beberapa institusi di Jepang dengan maksud untuk membangun kapasitas dan kompetensi pribadi dengan mengikuti beberapa program pelatihan singkat disana. Selama hampir sebulan kami mengunjungi beberapa tempat seperti Chiba University, Tokyo, Yokohama dan Hiroshima. Kunjungan tersebut benar-benar merubah motivasi dan cara pandang saya. Mengunjungi salah satu negara maju yang identik dengan teknologi canggih membuat saya menyadari bahwa Indonesia sudah tertinggal jauh secara teknologi dengan negara-negara maju. Dan terlebih itu, kunjungan itu telah memicu saya untuk melanjutkan sekolah lagi di salah satu negara maju yang berarti saya harus mendapatkan beasiswa untuk mewujudkan mimpi saya tersebut.
Setelah itu pada akhir tahun 2013, saya mulai mencoba mempelajari cara-cara mendaftar beasiswa ke luar negeri beserta syarat-syaratnya. Salah satu syarat yang terpenting adalah sertifikat bahasa Inggris bisa TOEFL atau IELTS, tetapi saya baru tahu kalo ternyata IELTS lebih banyak diterima di berbagai negara. Untuk itu saya mulai belajar tentang IELTS yang menurut saya agak aneh karena umumnya dari jaman kuliah kita lebih familiar dengan format TOEFL ITP. Kemudian saya mengikuti kursus persiapan IELTS di IALF Kuningan Jakarta yang biayanya cukup buat bayar kos selama empat bulan...hehe. Selama mengikuti kursus itu saya merasa kaget atau kalo boleh dibilang shock karena beberapa alasan. Pertama, karena format IELTS ternyata sangat berbeda dengan TOEFL. Kemudian, trainer-nya adalah expatriat dari Australia yang bisa dibayangkan menyampaikan materi dengan full English dan aksen Australia yang agak aneh bagi orang Indonesia. Yang ketiga adalah teman-teman sekelas saya yang ternyata sudah pada advanced dan bisa mengikuti setiap materi. Intinya saya merasa gagal pada kursus tersebut tapi paling tidak selama kursus saya sudah memfotokopi banyak buku IELTS dari perpustakaan IALF yang mungkin harganya sangat mahal jika membeli sendiri. Belum lagi biaya tes IELTS yang super mahal membuat saya membanting setir kembali ke TOEFL ITP.
Tahun 2014, berbekal skor TOEFL ITP 507 saya mencoba melamar beberapa beasiswa. Disamping itu dalam tahun itu saya juga mengikuti beberapa tes TOEFL lagi dengan kenaikan skor yang tidak signifikan hanya berkisar 10 point. Sepanjang tahun itu beasiswa yang saya apply diantaranya Australia Award Scholarship, New Zealand Award Scholarship, USAID Prestasi dan Postgraduate Training GEBCO di US yang semuanya berakhir dengan kegagalan. Disamping itu saya juga tetap belajar TOEFL dengan kursus di salah satu tempat kursus inggris di Jakarta dan belajar IELTS secara otodidak.
Tahun 2015 setelah stag belajar TOEFL ITP, saya mencoba untuk kembali ke IELTS dengan mengikuti kursus persiapan IELTS di LBI UI Salemba selama dua kali dengan alasan tempat kursus tersebut relatif lebih murah dibanding tempat kursus IELTS yang lain di Jakarta. Disamping itu saya juga mengikuti beberapa tes TOEFL lagi dengan kenaikan skor hanya 530. Berbekal skor tersebut saya mencoba apply lebih banyak beasiswa lagi diantaranya Australia Award Scholarship, New Zealand Award Scholarship, USAID Prestasi, Brunei Government Scholarship, Chevening, Korean Government Scholarship, VLROS Belgia, Postgraduate Training GEBCO di US dan Riset-Pro Kementrian Ristek dan semuanya berakhir dengan surat penolakan. Selama itu juga saya belum berani mengambil tes IELTS yang biayanya selangit padahal sudah mengikuti dua kursus lagi. Di tahun tersebut sebenarnya saya berhasil lolos beasiswa USAID Prestasi ke US, tetapi beberapa hari menjelang masa Pre-Departure training mendadak saya jatuh sakit dan harus istirahat beberapa bulan sehingga terpaksa mengundurkan diri dari beasiswa tersebut. Saya juga belum kepikiran untuk mencoba LPDP yang lagi popular saat itu karena skor bahasa Inggris saya masih dibawah persyaratan. Setelah itu saya bertemu secara tidak sengaja di media sosial dengan salah satu guru IELTS yang sekarang menjadi teman baik saya. Beliau adalah salah satu guru IELTS di Indonesia lulusan Cambridge University UK. Saya belajar tips dan rahasia mengerjakan soal-soal IELTS yang tidak saya dapatkan dari tempat-tempat kursus yang saya ikuti sebelumnya. Beliau jugalah yang meyakinkan saya untuk berani mengambil tes IELTS. Akhirnya pada akhir 2015, saya beranikan untuk mengambil tes IELTS dan Alhamdulillah skor saya 6.5 dimana cukup untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri.
Berbekal skor IELTS tersebut saya mencoba peruntungan untuk mendaftar beasiswa LPDP 2016 dengan bantuan salah satu teman baik yang sudah menjadi awardee LPDP untuk mengoreksi essay saya. Bersamaan dengan itu saya juga mendaftar beberapa universitas di luar negeri sebagai persiapan aplikasi beasiswa lain jika tidak lolos LPDP dan alhamdulillah surat penerimaan (LoA) dari universitas-universitas tersebut tidak dengan susah saya terima. Sejauh itu saya sudah mengantongi empat LoA dr Universitas di Australia dan Belanda. Berbekal modal tersebut dengan keyakinan pribadi saya mendaftar beasiswa LPDP, Australia Award Scholarship dan Riset-Pro Kementrian Ristek. Singkat kata, kemudian saya mengikuti seleksi beasiswa LPDP dan dinyatakan lolos seleksi beasiswa. Selang beberapa bulan kemudian saya juga dipanggil seleksi beasiswa Australia Award Scholarship dan kemudian dinyatakan lolos seleksi, disamping surat keputusan lolos beasiswa Riset-Pro Kementrian Ristek karena saya sudah mengantongi beberapa LoA dan siap berangkat kuliah di luar negeri. Tanpa mengecilkan kedua beasiswa lain, saya memilih beasiswa Australia Award Scholarship sebagai platform untuk kuliah di Australia karena memang sudah saya idam-idamkan sebelumnya dan untuk mengikuti jejak senior dan inspirator saya, Pak Made Andi Arsana.
To sum up, secara total ada kurang lebih 15 beasiswa yang gagal saya dapatkan sebelum mendapatkan beasiswa tahun 2016. Pernah terbersit di benak jikalau di tahun 2016 saya juga gagal mendapatkan beasiswa di luar negeri, saya akan banting setir kuliah di dalam negeri. Kepada teman-teman pemburu beasiswa, semoga kisah saya ini bisa member semangat dan inspirasi.
Percayalah bahwa jika satu pintu ditutup maka masih ada banyak pintu yang menunggu kita untuk mengetuk dan membukanya….
In life…there is one thing I have learnt and I learnt it in a hard way…
If you fight for what you want the best you could…but you would give the result to Him in humility…
He will listen and help you…(Mr. Y, 2016)
Perth, Feb 2018
End of Summer
No comments:
Post a Comment