Seorang anak muda. Ia telah berusaha memberikan
dasar yang kokoh bagi keluarganya. Namun ia menemukan kekosongan di dasar
sanubarinya. Ia dilanda kecemasan dan kehilangan arah hidup. Semakin hari
situasinya semakin parah. Ia memutuskan untuk pergi ke dokter sebelum menjadi
amat terlambat. Setelah mendengarkan keluhannya, dokter memberikan empat
bungkus obat sambil berpesan; “Besok pagi sebelum jam sembilan pagi engkau
harus menuju pantai seorang diri sambil membawa ke empat bungkus obat ini.
Jangan membawa buku atau majalah. Juga jangan membawa radio atau tape. Di
pantai nanti anda membuka bungkusan obat sesuai dengan waktu yang tercatat pada
bungkusannya, yakni pada jam sembilan, jam dua belas, jam tiga dan jam lima.
Dengan mengikuti resep yang ada di dalamnya aku yakin penyakitmu akan sembuh.”
Orang tersebut berada di antara percaya dan ragu akan resep yang diberikan
dokter. Namun demikian pada hari berikutnya ia pergi juga ke pantai.
Begitu tiba di pesisir pantai di pagi hari,
sementara matahari pagi mulai muncul di ufuk timur dan laut biru memantulkan
kembali sinarnya yang merah keemasan itu, sambil deru ombak datang silih
berganti, hatinya dipenuhi kegembiraan yang amat dalam. Tepat jam sembilan, ia
membuka bungkusan obat yang pertama. Tapi tak ia dapati obat didalamnya, cuma
secarik kertas dengan tulisan: “Dengarlah.” Aneh bin ajaib, orang tersebut
patuh pada apa yang diperintahkan. Ia lalu duduk tenang mendengarkan desiran
angin pantai serta deburan gelombang yang memecah bibir pantai. Ia bahkan secra
perlahan-lahan mampu mendengarkan setiap detak jantungnya sendiri yang menyatu
dengan melodi musik alam di pantai itu. Telah begitu lama ia tak pernah duduk dan
menjadi sungguh tenang seperti hari ini. Ia terlampau sibuk dengan usahanya.
Saat ini ia merasa seakan-akan jiwanya dibasuh bersih.
Jam dua belas tepat. Ia membuka bungkusan obat yang
kedua. Tentu seperti halnya bungkusan yang pertama, tak ada obat yang didapati
kecuali selembar kertas bertulis; “Mengingat”. Ia beralih dari mendengarkan
musik pantai yang indah dan nyaman itu dan perlahan-lahan mengingat setiap
jejak langkahnya sendiri sejak kanak-kanak. Ia mengingat masa-masa sekolahnya
dulu, mengingat kedua orang tuanya yang senantiasa memancarkan kasih di wajah
mereka. Ia juga mengingat semua teman yang ia cintai dan tentu juga
mencintainya. Ia merasakan ada segumpal kekuatan dan kehangatan hidup memancar
dari dasar bathinnya.
Ketika ia membuka bungkusan ketiga saat waktu
menunjukan jam tiga tepat, ia menemukan secaraik kertas dengan tulisan:
“Menimbang dan menilai motivasi”. Ia memejamkam mata, memusatkan perhatiannya
untuk menilai kembali niat pertama ketika ia membangun usahanya. Saat itu yang
menjadi inspirasi utama ia membuka usahanya adalah secara gigih bekerja untuk
melayani kebutuhan sesamanya. Namun ketika usahanya kini telah memperoleh
bentuknya, ia lupa hal ini dan hanya berpikir tentang keuntungan yang bakal
diperoleh. Keuntungan kini menjadi penguasa dirinya, ia telah berubah menjadi
manusia yang egoistis, serta lupa memperhatikan nasib orang lain. Ia kini
seakan telah mampu melihat akar penyakitnya sendiri, ia menemukan alasan yang
senantiasa membuatnya cemas.
Ketika matahari telah hilang dan bentangan laut
berubah merah, ia membuka bungkusan obatnya yang terakhir. Di sana tertulis:
“Tulislah segala kecemasanmu di bibir pantai.” Ia menuju bibir pantai, lalu
menuliskan kata “cemas”. Ombak datang serentak dan menghapus apa yang baru
dituliskannya. Bibir pantai seakan disapu bersih, kata “cemas” yang baru
ditulisnya hilang ditelan ombak.
No comments:
Post a Comment